• Home
  • Current: Stories

Cukup, Kamu Tidak Harus (Selalu) Bahagia!

01 Sep 2020 | STORIES | 2 Comments
Title News

Gaduh. Satu kata yang paling tepat untuk menggambarkan pikiran dan perasaan Angeline, gadis berusia seperempat abad yang dikenal karena keceriaannya, setiap malam selama beberapa minggu belakangan. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya, membuat hatinya turut berat. Pada suatu hari, Ia bisa merasa begitu senang dan bersemangat. Tapi, pada hari yang sama juga, Ia merasa teramat sedih dan menganggap dirinya tidak berguna. 

Di saat-saat sedih seperti itulah, Angeline terbiasa mencari buku, film seri, atau rekaman audio yang sedang naik daun untuk memotivasi dirinya. Tapi, entah mengapa hati dan pikirannya tetap gaduh, seraya berkata ‘tidak puas’. Suatu hari, Ia pun mencoba membuka diri dan menceritakan keadaannya pada Andriani, teman dekatnya sejak SMA. 

“Dri, gue stress pengen keluar kerja aja. Setiap hari gue dicaci maki, padahal ga salah apa-apa. Kayanya gue merasa useless deh di sini,” ucap Angeline.

“Jangan mudah menyerah. Elo harus lihat dari sisi positifnya. Masih mending elo punya kerjaan, banyak yang nggak seberuntung lo. Bersyukur aja,” hibur sang teman. 

Alih-alih menjadi obat, kalimat demi kalimat motivasi dari temannya terasa kosong dan justru membuatnya muak. Skenario ini mungkin mengingatkanmu pada orang lain atau terasa familier karena ini yang sedang kamu hadapi. 

Ujaran motivasi memang baik dan ampuh untuk mematahkan rasa sedih dan pikiran negatif. Namun, apabila terlalu banyak dikonsumsi akan berujung tidak baik dan justru dapat membuat seseorang semakin merasa kecil diri atau bahkan menjadi pemicu gangguan psikis. Kondisi ini yang disebut dengan istilah ‘toxic positivity’, suatu keadaan dimana seseorang mencoba untuk selalu positif dan cenderung menyangkal berbagai persoalan dan hal-hal negatif yang benar-benar terjadi. 

Sebuah studi yang dilakukan psikolog dari Harvard Medical School dan penulis buku Emotional Agility terhadap 70.000 responden, menyatakan bahwa sepertiga responden menghakimi perasaan negatifnya sendiri dan berusaha menyingkirkan hal tersebut karena adanya pandangan bahwa menjadi positif merupakan kebenaran secara moral. 

Lalu, apakah pemikiran positif merupakan hal yang buruk? Seorang psikiater, dr. Jiemi Ardian menjelaskan bahwa kita perlu membedakan sifat-sifat positif yang benar dan toxic. Ada dua istilah yang perlu dipahami, yakni validasi dan invalidasi. Validasi adalah suatu keadaan dimana kita menerima perasaan negatif yang dialami, tidak menyangkalnya. Sebaliknya, invalidasi adalah suatu keadaan dimana kita menolak dan cenderung menyembunyikan perasaan yang negatif di balik hal-hal positif. 

Toxic positivity didasari oleh invalidasi, yang disebabkan oleh budaya yang memaksa kita untuk selalu positif, tidak boleh mengeluh, mudah menilai dan memberikan cap ‘baper’, dan selalu membanding-bandingkan penderitaan. 

Sudahlah cukup beromong kosong. Kita (manusia biasa), tidak akan selalu bisa melihat segala sesuatu dari sisi positif. Terkadang, menjadi tidak baik-baik saja itu baik. Hanya dengan mengakui rasa negatif itu dan membiarkannya ada tanpa buru-buru ditimpa sikap positif semu, seseorang akan mampu menghadapi realitas, dan bangkit lagi. Faktanya, bersikap positif setiap saat bukanlah suatu kebaikan. Sebaliknya, menerima bahwa it’s okay to be not okay, adalah awal pemulihan untuk selanjutnya kita bisa mencari solusi terbaik.

 

                                                                                               ***

 

Sumber: 

https://tirto.id/toxic-positivity-saat-ucapan-penyemangat-malah-terasa-menyengat-dhLM

https://www.whiteboardjournal.com/ideas/human-interest/tentang-toxic-positivity-dan-dampaknya-pada-kesehatan-mental-kita/

Sumber Foto:

Alissa Azureen via Unsplash.com

Written by: Irene Subrata
Anak kemarin sore yang sedang belajar menulis.
Comments
  • Stephanie
    | 15 Sep 2020

    "it s okay to be not okay" ????????????

  • Sharen
    | 15 Sep 2020

    Kalau mnurut saya, stres/kesal/jengkel/merasa tidak dihargai adalah hal yang wajar. Smua org bisa merasakannya. Tidak perlu ditutupi karena justru bisa mengakar dan menjadi depresi misalnya. Cara lain yang terbaik adalah dgn tidak usah menghakimi org lain kalau mereka curhat. Cukup dengar dan ikut merasakan. Ga perlu juga kasih kasih nasehat. Hal yang mungkin bisa membantu juga dgn mencari psikoterapi, melakukan rekreasi dan mungkin emang saatnya berhenti dari pekerjaan. Who knows there is somet

Leave your comment