Dari pengalaman penulis mempelajari komunikasi antar budaya di bangku perguruan tinggi, diskusi mengenai komunikasi konteks tinggi dan rendah sangat mencuri perhatian penulis. Bahasan ini menurut penulis merupakan teori yang realisasinya sangat dekat dan nyata dengan kehidupan manusia sehari-hari. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan rangkuman bahasan mengenai komunikasi konteks tinggi dan rendah dari sudut pandang serta pemahaman yang didapat, dan diharapkan isi dari tulisan ini bisa memberikan pandangan baru mengenai komunikasi konteks tinggi dan rendah.
High Context Communication atau komunikasi konteks tinggi adalah pola komunikasi yang pesannya lebih tersampaikan secara tidak langsung atau implisit, serta memiliki sematan pesan yang ingin disampaikan dari aspek non-verbal, serta lebih terkesan tidak menyerang lawan bicara. Pola komunikasi ini juga dinilai lebih puitis dan bisa membuat lawan bicara menduga atau menciptakan tafsiran sendiri dari pesan yang ingin disampaikan. Contoh kasusnya dalam penyampaian kritik menggunakan pola komunikasi ini, akan terlebih dahulu ditambahkan pujian atau apresiasi untuk hal positif yang ada, bahkan bisa juga penambahan pesan lain selain kritik ini bersifat hiperbola.
Sementara itu, Low Context Communication atau komunikasi konteks rendah adalah pola komunikasi yang bersifat lebih lugas, langsung serta cenderung lebih efektif efektif karena tidak berbelit-belit dan dapat mempercepat penyampaian pesan. Pola komunikasi dengan konteks rendah ini, dikhawatirkan dapat membawa permasalahan karena konflik akibat kelugasan yang dapat menyinggung lawan bicara. Sebab, pada pola komunikasi konteks rendah tidak digunakan banyak pesan atau konteks tambahan untuk memperhalus kritik dalam penyampaian nya, sehingga pola komunikasi ini dikhawatirkan dapat menjadi gaya komunikasi yang terlalu agresif bagi beberapa pihak.
Di Indonesia pola komunikasi yang pada awalnya diterapkan adalah High Context Communication. Pada masa awal terbentuknya kebudayaan dan adat istiadat di Indonesia, perkembangan yang terjadi menjurus kepada suatu bangsa dengan sistem sosial tertutup (closed system). Bagi sebagian masyarakat yang masih tergolong tidak progresif serta tradisonal dalam artian memegang teguh kebiasaan beramah tamah, sangatlah sulit untuk tidak berbasa-basi dan mengatakan tidak, situasi ini memang benar adanya di lingkungan sehari-hari. Oleh Edward T. Hall peristiwa ini disebut sebagai places cultures along a continuum (bersemi ada dalam budayanya). Orang Indonesia lebih memilih diam daripada mengucapkan kata yang tidak secara langsung. Tapi kebanyakan itu dahulu.
Alhasil, dewasa ini konteks yang tinggi dalam pola komunikasi di Indonesia sudah berkurang. Dikaitkan dengan pembahasan teori dari paragraf sebelumnya, maka disimpulkan sudah tidak begitu banyak lagi masyarakat yang sulit untuk mengatakan tidak dan berbasa-basi dalam berkomunikasi. Perubahan pola hidup bangsa Indonesia yang menjadi semakin cepat akibat globalisasi dan modernisasi, menghadirkan tuntutan agar dalam prosesnya segala hal harus bisa bergerak lebih cepat dan penyampaian pesan merupakan salah satu hal signifikan dan berpengaruh.
Dengan menjadi generasi yang hidup di era digitalisasi, tentu saja penyesuaian pola berkomunikasi dengan konteks yang tinggi atau rendah sangat penting untuk dilakukan. Masyarakat Indonesia yang pada dasar nya menganut nilai kekeluargaan dan ramah tamah, namun juga berada dalam masa modernisasi dengan penyesuaian pola hidup dengan percepatan yang ada.
Sejauh ini pola komunikasi manakah yang lebih cenderung anda gunakan?
Written by Michael Chandra, Interns