• Home
  • Current: Stories

Seni & Drama dalam Jurnalisme: Wawancara Kursi Kosong Najwa Shihab

25 Jan 2021 | STORIES | 0 Comment
Title News

Pada Oktober 2020 lalu, warga internet (warganet) ramai membicarakan wawancara kursi kosong yang dilakukan news anchor kenamaan Tanah Air, Najwa Shihab. Kala itu seharusnya dijadwalkan untuk mewawancarai Menteri Kesehatan (Menkes) terdahulu, Terawan Agus Putranto mengenai pandemi Covid-19 di Indonesia. Sebagai orang yang dianggap memiliki peranan besar dalam penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia, Terawan justru menghilang dari sorotan media dan sulit untuk dimintai keterangan, padahal publik membutuhkan sekali penjelasan dari Menkes saat itu mengenai lonjakan kasus positif Covid-19 yang sangat signifikan dari hari ke hari di Indonesia, bagaimana hal tersebut dapat terjadi dan bagaimana pemerintah akan berusaha untuk menanganinya. 

 

Di sisi lain, Najwa yang dikenal sebagai jurnalis yang kritis dan tegas dalam membahas berbagai isu politik dan negara, merasa bahwa dirinya perlu menjalankan fungsi pers dalam mengawasi kebijakan yang dilakukan pemerintah (mengutip Liputan6.com). Oleh karena itu, meskipun Terawan tidak dapat menghadiri undangan wawancara Mata Najwa (program talk show yang dibawakan oleh Najwa), jurnalis senior kelahiran Sulawesi Selatan ini tetap menjalankan sesi wawancaranya dengan kursi kosong yang seharusnya diduduki oleh Terawan. Dari sumber yang sama, Najwa juga menyampaikan bahwa meskipun tidak dapat mewawancarai secara langsung, Terawan dapat merespon pertanyaan yang diberikan dirinya dari platform apa saja dan darimana saja beliau berada.

 

Tindakan Najwa tersebut kemudian menuai apresiasi dari warganet, namun tidak sedikit juga yang menilai bahwa wawancara Mata Najwa tersebut seperti drama. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa Najwa telah menghakimi Terawan secara sepihak atau yang disebut dengan Trial by the Press hingga dilaporkan sebagai pelanggaran UU ITE. Padahal di negara lain wawancara kursi kosong oleh seorang jurnalis bukanlah hal yang baru. Sebelumnya, news anchor Kay Burley dari program berita Sky News, Inggris juga melakukan hal yang sama ketika dijadwalkan untuk mewawancarai Ketua Partai Konservatif, James Cleverly. Sama seperti Terawan, James juga tidak hadir dalam wawancara tersebut sehingga Kay Burley melanjutkan wawancaranya dengan kursi kosong.

 

Lantas, seperti apa sebenarnya wawancara kursi kosong yang dilakukan Najwa jika dilihat dari sisi jurnalisme? Mengutip jurnal “What art and drama can do for journalism” yang ditulis oleh Robin Kwong, Newsroom Innovation Chief at The Wall Street Journal, sebelum internet ada seperti sekarang, berita dinilai sebagai sesuatu yang langka. Namun, kini seiring dengan perkembangan teknologi digital, berita yang beredar di masyarakat sangat berlimpah. Bahkan internet juga telah memecah publik menjadi kelompok yang dibangun atas kebenaran emosional yang sama sehingga menyebabkan fungsi jurnalisme mengalami pergeseran. Jurnalisme tidak lagi hanya menganalisis fakta, namun juga memiliki peran kunci yakni empati. Jurnalisme membuka ruang bagi publik untuk dapat berdialog untuk membantu publik mencapai pemahaman emosional tentang suatu informasi.

 

Jurnalisme membutuhkan kemampuan untuk menembus kesadaran masyarakat yang sudah terlalu banyak diterpa oleh informasi, serta menjangkau area di mana jurnalisme tidak dapat diakses atau ditolak secara aktif. Di sinilah seni dan drama dapat membantu jurnalisme untuk melakukan hal tersebut. Bila satire dan sarkasme adalah salah satu cara untuk menyampaikan kebenaran dan pemahaman kepada publik, maka jurnalis sebagai individu yang mengidentifikasi kebenaran dan pemahaman tersebut dianggap sah mengadopsi seni dan drama. Meskipun demikian, hal tersebut tidak dapat dilakukan berulang kali karena efek kejutnya akan hilang.

 

Sementara itu, mantan Analis Konten Pemberitaan KPI Pusat, Algooth Putranto mengatakan bahwa penggiringan isu penyiaran Narasi TV yang menggunakan channel YouTube dapat ditarik sebagai pelanggaran UU ITE dinilai tidak tepat, mengingat status Narasi TV yang tercatat di Dewan Pers sebagai media siber. “Produk satire kok diadili,” kata Algooth saat diminta tanggapannya melalui aplikasi pesan WhatsApp. Kendati demikian, Algooth juga mengingatkan bahwa laporan masyarakat terhadap konten produk jurnalistik tidak boleh dihalangi maupun dinilai sebagai upaya mengganggu kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dilindungi oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia.

Written by: Christina Novalita
Comments
Leave your comment