• Home
  • Current: Stories

Fenomena Bilingualisme Pada Generasi Saat Ini, Apa Penyebabnya?

08 Mar 2021 | STORIES | 0 Comment
Title News

Photo by Brooke Cagle on Unsplash

Tahun 2020 lalu, Indonesia menempati posisi ke-74 dari 100 negara dalam survei English Proficiency Index oleh English First (EF). Walaupun masih tergolong rendah dalam nilai kelancaran berbahasa Inggris, nyatanya pencampuran bahasa asing dengan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-sehari sepertinya bukanlah hal aneh bagi para generasi milenial dan Z. Fenomena menutur dengan dua bahasa ini dikenal dengan sebutan kedwibahasaan atau bilingualisme.

Bilingualisme sendiri menurut Mackey dan Fisherman dalam Chaer (1995) adalah sebuah kondisi dimana seseorang dapat berbicara menggunakan dua bahasa. Mereka menambahkan, penutur tersebut tidak wajib untuk benar-benar fasih di kedua bahasa, namun setidaknya harus mencapai tingkatan tertentu di bahasa kedua.

Fenomena bilingualisme dapat diakibatkan oleh banyak hal. Salah satunya adalah arus globalisasi. Generasi milenial dan Z adalah dua generasi yang paling mudah terpapar dampak globalisasi. Menggunakan bahasa Inggris kemudian pada titik tertentu menjadi sebuah tolok ukur kualitas seseorang. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang wajib dipelajari karena tuntutan agar dapat berhubungan dan bernegosiasi dengan siapa saja di seluruh dunia. Maka dari itu, bilingualisme banyak terjadi pada generasi milenial dan Z. 

Faktanya, selain arus globalisasi, terdapat beberapa penyebab munculnya bilingualisme, seperti memiliki orang tua dengan bahasa ibu yang berbeda, tinggal di lingkungan yang memakai dua bahasa, pindah dari satu komunitas linguistik ke komunitas linguistik lain, dan masih banyak lagi.

Salwa, seorang mahasiswa kedokteran berusia 22 tahun yang juga bagian dari generasi Z menyatakan alasannya sebagai seorang bilingual. “Pakai dua bahasa sejak kecil karena nyokap sudah biasa ngajak bicara pakai bahasa Inggris. Dari kecil juga suka main games yang bahasanya pun bahasa Inggris, makin dewasa jadinya suka campur-campur bahasa.” 

Mengambil contoh lain, Cinta Laura Kiehl, seorang artis tanah air yang terkenal akan dialek bahasa Inggrisnya saat bertutur bahasa Indonesia. Cinta lahir dari keluarga campuran, Ibu berdarah Indonesia dan Ayah berwarga negara Jerman, membuat Cinta terbiasa bertutur dalam bahasa Inggris sehari-sehari. Namun, memiliki Ibu orang Indonesia dan tinggal di Indonesia, Cinta juga harus memakai bahasa Indonesia. Ciri khas dari Cinta Laura adalah fenomena code-mixing atau code-switching, yaitu sebuah kecenderungan campur aduk bahasa atau peralihan dari satu bahasa ke bahasa lain. Anak-anak generasi saat ini mungkin lebih mengenalnya sebagai istilah bahasa “Jaksel”. Campur kode dan alih kode ini merupakan salah satu bagian dari bilingualisme.

Menariknya, Beti, seorang mahasiswa S2 di Universitas Indonesia, mengatakan alasannya mencampur bahasa Inggris dan Indonesia adalah untuk menutupi aksen “medok” bahasa Jawanya. Ia melanjutkan, ada beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang jika diucapkan, ia akan terdengar “medok”. Biasanya untuk menutupi hal tersebut, ia lebih menggunakan bahasa Inggris.

Menurut buku Trevor Harley (2005), kedwibahasaan sendiri dibagi menjadi tiga jenis, simultaneous bilingualism (kemampuan seseorang mempelajari kedua bahasa secara bersamaan), early sequential bilingualism (kemampuan seseorang mempelajari bahasa kedua saat masih kecil), dan late bilingualism (kemampuan seseorang mempelajari bahasa kedua saat dewasa). Ketiga contoh di atas cukup membuktikan beberapa cara berbeda seseorang mengakuisisi sebuah bahasa dan pada akhirnya menjadi seorang bilingual. 

Pada akhirnya, bilingualisme pada generasi saat ini, terutama milenial dan Z, disebabkan oleh berbagai faktor. Entah dari arus globalisasi yang dengan cepat menghantam generasi muda melalui media sosial, ataupun edukasi sejak dini dari keluarga. Tidak dapat dipungkiri, fenomena campur dan alih kode yang dilakukan telah menjadi gaya hidup dan diterima sebagai kewajaran. Meskipun demikian dan alasan yang melatarbelakangi fenomena bilingualisme ini bervariasi, campur-campur bahasa masih menuai pro dan kontra, seperti penggunaan berlebih untuk kata “which is” dalam percakapan sehari-hari. 

Menurut pendapatmu, selain alasan di atas, penyebab apa lagi yang melatarbelakangi seseorang menjadi bilingual? Yuk, berbagi di kolom komentar di bawah

A person who works with words.
Comments
Leave your comment