• Home
  • Current: Stories

Kampanye Greenwashing Cuma Teknik Marketing?

23 May 2022 | STORIES | 0 Comment
Title News

 

Pertumbuhan hasil industri dan konsumerisme selama beberapa dekade ini diiringi dengan kesadaran masyarakat atas pentingnya menjaga kelangsungan bumi. Tak lain, hal ini juga disebabkan oleh munculnya berbagai dampak negatif dari global warming. Konsumen yang sadar akan hal ini cenderung memiliki preferensi pada produk yang ramah lingkungan. Laporan dari Acosta (2021) menunjukkan bahwa konsumen bersedia membayar lebih untuk produk berkelanjutan, seperti alternatif daging nabati (81%), produk kecantikan dan perawatan pribadi (80%), susu dan alternatif susu (78%), serta daging atau unggas (74%). Lebih lanjut, sebanyak 65% konsumen menginginkan perusahaan berinvestasi lebih pada hal keberlanjutan.

 

Dilansir dari laporan GreenBiz tahun 2021, sustainability telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kesuksesan perusahaan. Pemikiran tentang "doing less harm" beralih ke "doing more good", yang artinya perusahaan berusaha menunjukkan keunggulannya dengan membuat dampak positif yang disengaja. Ke depannya tren green products menjadi peluang bisnis baru yang terus berkembang, sekaligus menjadi opsi bisnis yang ramah lingkungan. Namun, apakah green products pada praktiknya benar-benar “green”?

 

Kata “green” berarti kecenderungan dalam menjaga lingkungan dan meningkatkan kualitasnya. Green products pada dasarnya merupakan segala produk dengan penggunaan sumber daya yang efisien serta risiko rendah terhadap lingkungan. Banyak peneliti yang menghubungkan green products dengan keramahan lingkungan, kelestarian lingkungan, produksi ramah lingkungan, kualitas sosial, atribut etika, manfaat ekonomi, daya tahan, daur ulang, potensi konservasi sumber daya, bahan bebas racun, konsumsi energi rendah, emisi rendah, perlindungan kesehatan masyarakat, dan lain-lain (Bhardwaj et al., 2020).

 

Perkembangan green products yang makin dilirik oleh konsumen membuat perusahaan melakukan green marketing, agar dianggap sebagai perusahaan yang eco-friendly dan lebih berkelanjutan. Green marketing juga dikenal dalam istilah lain, yaitu environmental marketing, ecological marketing, dan sustainable marketing. American Marketing Association menyebutkan definisi green marketing sebagai teknik pemasaran produk yang aman bagi lingkungan. Teknik ini mengacu pada praktik produksi, pemasaran, pembuangan produk yang dilakukan dengan cara yang tidak terlalu merusak lingkungan. Beberapa definisi dari ahli lainnya sepakat bahwa green marketing merupakan bentuk komunikasi mengenai produk apapun yang memberikan dampak minimal pada lingkungan. Sehingga, praktik green marketing menguntungkan bagi perusahaan maupun konsumen untuk bersama-sama dan bekerja sama dalam menjaga, merawat, serta menghemat sumber daya yang terbatas  (Gupta et al., 2013)

 

Green marketing menjadi hal yang tak terelakkan baik bagi perusahaan dan marketer dengan meningkatnya kesadaran konsumen akan isu lingkungan. Adanya kebutuhan akan kualitas hidup yang lebih baik, lingkungan yang lebih bersih dan sehat, dan produk yang lebih aman menjadi persoalan baru yang perlu dipertimbangkan oleh perusahaan. Beberapa di antaranya mulai merasa penting untuk mencapai tujuan lingkungan, alih-alih sekadar berfokus pada keuntungan.

 

Jika green marketing merupakan upaya nyata untuk menjaga kelangsungan bumi, lain halnya dengan greenwashing. Greenwashing pertama kali muncul tahun 1986, bermula dari tuduhan aktivis Jay Westerveld ketika hotel mulai meminta tamu untuk menggunakan kembali (reuse) handuk, dengan klaim strategi penghematan air, meskipun, tidak ada dampak lingkungan yang signifikan. Delmas dan Burbano mendefinisikan greenwashing sebagai persimpangan dua perilaku perusahaan, antara kinerja lingkungan yang buruk dan komunikasi positif tentang kinerja lingkungan (Netto et al., 2020). Dapat diketahui, greenwashing tidak benar-benar melakukan praktik yang eco-friendly.

 

Aggarwal dan Kadyan (2014) melakukan penelitian terhadap 40 perusahaan global yang terbagi dalam empat sektor industri yaitu makanan dan minuman, otomotif, elektronik, dan personal care. Penelitian ini menemukan bahwa rata-rata skor greenwashing tertinggi yaitu pada sektor personal care sebesar 62% dan terendah di sektor elektronik sebesar 52%. Artinya, lebih dari sebagian sampel perusahaan di seluruh sektor melakukan praktik greenwashing.

 

Greenwashing bukan hanya tidak etis, tapi juga menyebabkan berbagai dampak negatif. Konsumen mungkin memutuskan untuk membeli suatu produk dengan label “eco-friendly” dengan harapan untuk menjaga lingkungan, yang pada kenyataannya produk tersebut merupakan hasil dari praktik greenwashing. Hal ini menyebabkan konsumen secara tidak sadar dan tidak sengaja berperan dalam kerusakan lingkungan. Hal yang diharapkan justru berdampak sebaliknya. Selain itu, konsumen akan kesulitan dalam membedakan antara praktik “green” yang sesungguhnya, dengan greenwashing yang hanya sebatas klaim palsu.

 

Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menghindari pembelian produk greenwashing. Pertama, amati klaim produk. Apakah klaim tersebut too good to be true? Apakah terdapat bukti, lisensi, atau sertifikasi yang mendukung? Bila tidak, mungkin klaim tersebut hanya sebatas pemanis. Kedua, pilih produk dengan kemasan yang minimalis atau bisa didaur ulang. Kemasan merupakan salah satu ciri yang mudah diidentifikasi dari sebuah produk. Bila produk menggunakan kemasan yang berlebihan tanpa ada kegunaan khusus, maka hal ini berlawanan dengan prinsip “green”. Ketiga, beli produk sesuai kebutuhan. Hindari berlebih-lebihan dalam berbelanja, dan gunakan gaya hidup minimalis untuk menjadi individu yang lebih environmentally friendly. Lebih sedikit sampah, maka lebih baik bagi kelangsungan bumi.


 

Written by Khansa Faadilah, Interns

 

Written by: admin
Comments
Leave your comment