Narrative paradigm adalah kerangka teoritis yang melihat naratif sebagai dasar dari semua komunikasi manusia. Walter Fisher, pencetus teori ini percaya bahwa manusia adalah makhluk naratif yang menjalani hidup sebagai rangkaian narasi, di mana terdapat konflik, karakter, permulaan, tengah, dan akhir cerita. Menurut teori ini, kita perlu memperhatikan dua faktor dalam berkomunikasi, yaitu narrative coherence, cerita yang saling berhubungan, dan narrative fidelity, yakni cerita yang didasari oleh kebenaran serta selaras dengan identitas maupun kehidupan pendengar.
Tak hanya pada kehidupan sehari-hari, teori ini perlu diterapkan dalam menggarap sebuah film. Sebagai gambaran, Joko Anwar sukses mempraktikkan narrative paradigm pada karya box office-nya yaitu “Pengabdi Setan 2: Communion”. Narrative coherence dilakukan Joko dengan menjaga konsistensi alur cerita dan sifat karakter dengan film pertamanya, “Pengabdi Setan”. Sementara narrative fidelity diimplementasikan dengan membubuhkan narasi yang relatable dengan kehidupan masyarakat. Sadar atau tidak, terdapat tuntutan dalam lingkungan bermasyarakat bahwa wanita belum sempurna jika belum melahirkan.
Hal tersebut lah yang mendasari film “Pengabdi Setan”, yaitu seorang wanita yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan buah hati, termasuk melakukan perjanjian dengan iblis. Selain itu, pemilihan rumah susun (rusun) sebagai latar film juga dinilai sesuai dengan kehidupan sebagian masyarakat. Tak hanya latar cerita, akting para aktor turut menggugah perasaan penonton. Salah satunya adalah adegan iconic di mana Tony ketakutan saat diminta Pak Ustad berkeliling untuk memeriksa hunian para jenazah. Rasa takut dan keraguan yang dilukiskan sang aktor turut dirasakan penonton, yang kemungkinan besar akan merasakan hal serupa jika ada di posisi Tony.
Melalui “Pengabdi Setan 2: Communion”, kita dapat belajar bahwa dengan memperhatikan keselarasan narrative coherence dan narrative fidelity, komunikasi dan penyampaian pesan dapat dilakukan secara runtut dan efektif.