• Home
  • Current: Stories

Mengungkap Cerita Di Balik Topeng Spider-Man: Kehidupan Ganda Seorang Pahlawan dan Jurnalis Foto

27 Feb 2024 | STORIES | 0 Comment
Title News

 

Sumber:Unsplash.com

Peter Parker, seorang siswa yang brilian dan wartawan foto yang canggung, menjalani kehidupan gandanya sebagai seorang pembasmi kejahatan berjubah laba-laba. Hasratnya dalam menegakkan keadilan di jalan, berjalan beriringan dengan kekuatan super yang dimilikinya, kemampuan analitisnya sebagai seorang pelajar serta ketajaman kualitas foto yang dihasilkannya. Kisahnya sehari-hari sebagai The Friendly Neighborhood Spider-Man kini sudah berusia lebih dari 60 tahun dan sukses mengangkat berbagai cerita menariknya sebagai seorang wartawan foto, seorang mahasiswa, dan sebagai sang pembela kebenaran.

Siapa yang menyangka bahwa kisah hidupnya menjadi gambaran sempurna untuk mengilustrasikan dilema nyata yang dihadapi wartawan foto di Indonesia. Dilema antara ketidakjelasan karir dan kepentingan media yang diilustrasikan sebagai pertikaian antara Peter Parker dan J.J. Jameson merupakan konflik yang umum dijumpai di tengah pergerakan industri media yang dinamis. Yuk, kita simak cerita di bawah ini!

Berawal dari keisengan seorang mahasiswa yang sedang membutuhkan uang tambahan, malah membuat Peter Parker terpapar oleh dunia jurnalistik. Lewat sebuah kompetisi kantor berita Daily Bugle untuk memotret sosok Spider-Man (atau dirinya sendiri), Peter Parker sukses menarik perhatian J.J. Jameson, selaku editor Daily Bugle. Tak lama, ia ditetapkan sebagai seorang wartawan foto karena Daily Bugle membutuhkan foto yang baik untuk bisa meningkatkan penjualan korannya. Semenjak itu, Peter Parker selalu ditugaskan untuk menangkap momen pertempuran sang vigilante laba-laba dengan penjahat super. Ia pun datang dengan berbagai foto menarik dan sukses membuatnya mendapatkan uang tunai yang cukup untuk melunasi hutang sewa bulanan apartemennya.

Walau foto-fotonya sering kali dimuat sebagai first page koran, Peter Parker tidak mendapatkan apresiasi yang semestinya. Dia kesulitan mendapatkan promosi menjadi karyawan tetap padahal ia membutuhkan pekerjaan yang stabil secara finansial untuk menghidupi keluarganya dan menikahi pacarnya. Tantangan yang dialami oleh Peter Parker ini lah yang kerap kali dihadapi oleh banyak wartawan foto di Indonesia.

Sumber: Pexels.com

Kini wartawan foto di Indonesia mengalami berbagai dinamika di tengah perkembangan industri yang terjadi. Sebelumnya, kemampuan fotografi yang membutuhkan latihan khusus dan peralatan yang cukup rumit, namun kini tergantikan dengan perkembangan teknologi yang terus melesat. Siapa saja dapat dengan mudah mengambil foto dalam peristiwa tertentu. Kecanggihan smartphone yang dilengkapi fitur kamera dengan keakuratan yang tinggi semakin memudahkan pekerjaan para wartawan tulis dalam mengambil gambar.

Sumber: Pexels.com

Wartawan foto juga memiliki daya pengaruh yang besar dalam membentuk persepsi publik. Kita bisa melihat contoh kasusnya juga dari kisah perseteruan Spider-Man di koran Harian Daily Bugle. Kehadiran Peter Parker di Daily Bugle dalam menyediakan foto-foto terbaik dari Spider-Man sukses membantu agenda editornya yang memiliki dendam khusus terhadap Spider-Man. Berkat foto-foto tersebut, ditambah dengan bumbu-bumbu judul-judul yang provokatif dan isi berita yang menjelek-jelekkan Spider-Man, membuat masyarakat memiliki persepsi negatif terhadap pahlawannya.

Spider-Man sempat dicap sebagai seorang vigilante yang ugal-ugalan, sembrono, dan membahayakan lingkungan sekitar, walau hal tersebut sebetulnya tak bertahan lama setelah masyarakat dibuktikan dengan hal sebaliknya. Bisa dikatakan bahwa Spider-Man sempat disalahpahami hanya dengan kekuatan foto ditambah dengan judul negatif.

Bagaimana dalam kehidupan nyata? Apa betul foto masih memiliki pengaruh yang besar dalam masyarakat? Kisah seorang biksu dari Vietnam ini akan semakin menarik untuk diperhatikan. Mendiang Thich Quang Duc, atau lebih dikenal sebagai The Burning Monk adalah seorang pemuka agama yang memprotes kebijakan dan kebohongan di negaranya yang sukses membuat isu SARA yang berada di negaranya, mendapatkan perhatian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada masa tersebut, presiden Vietnam, Ngo Dinh Diem adalah pemimpin yang kental dengan rasisme terhadap umat Buddha. Ia membuat berbagai peraturan yang bertujuan untuk melarang umat buddha untuk beribadah atau menjalankan ritual agama mereka lainnya.

Sumber: time.com

Thich Quang Duc menentang hal tersebut dengan keras dan ia melakukan aksi demonstrasi nya dengan membakar dirinya sendiri di tengah jalan Saigon yang begitu padat. Momen dia dikelilingi oleh api dan tetap berada pada posisi duduk dengan tenang sukses tertangkap oleh kamera seorang wartawan foto New York Times. Hal ini sukses membuat geram seluruh negara anggota PBB yang berujung pada pemecatan Ngo Dinh Diem dari jabatannya.

Kita sudah melihat betapa signifikannya kekuatan gambar dan foto dalam membentuk sudut pandang publik akan suatu peristiwa/seseorang. Itulah juga yang menjadi kekuatan pengaruh yang dapat dibangun oleh para wartawan foto. Pemahaman masyarakat akan sebuah peristiwa, fenomena, atau profil seorang tokoh dapat ditentukan dari bagaimana foto tersebut diambil.

Butuh kemampuan yang tinggi bagi wartawan foto untuk mengambil momen serta bagaimana menangkap dan menceritakan kisah yang terjadi di dalam sebuah peristiwa lewat gambar yang akan diambilnya. Keahlian seperti ini membutuhkan proses yang panjang serta pengalaman yang beragam untuk sampai di titik itu. Ditambah lagi, masyarakat kita tentu masih lebih menyukai konten visual ketimbang tulisan karena lebih mudah dipahami.

Sumber: pexels.com

Di tengah kemajuan zaman yang ada, peran wartawan foto tetap tidak terabaikan. Meskipun tantangannya kini semakin rumit, namun kemampuan mereka untuk menangkap momen dan menceritakan kisah melalui gambar tetap tak tergantikan. Apakah fotojurnalisme akan beradaptasi atau tereliminasi ketika menghadapi perubahan di masa depan? Yang pasti, kita perlu akui bahwa konten visual berkualitas tetap menjadi kebutuhan esensial dalam membentuk persepsi publik dan membangun narasi yang kuat.



 

 

Written by: Samuel Wangsa
Comments
Leave your comment