Memiliki citra dan reputasi positif menjadi harapan yang diinginkan oleh setiap individu, lembaga, maupun korporasi. Citra dan reputasi yang baik merupakan investasi untuk menggapai kesuksesan. Lalu ketika citra dan reputasi itu mulai terganggu maka di sana sedang terbuka jalan menuju ambang kehancuran.
Saat gangguan terhadap citra dan reputasi itu datang, umumnya hanya ada dua pilihan yang bisa dilakukan. Pertama, membiarkannya lewat dengan harapan layaknya kisah klise bahwa badai pasti akan berlalu. Kedua, mengisolasi persoalan atau masalah sehingga tidak membuat kerusakan terhadap citra dan reputasi itu makin menjalar sambil terus berusaha memperbaikinya secara bertahap.
Ketika Anda memilih cara pertama, maka bersiaplah menghadapi kehancuran, baik secara cepat maupun bertahap. Contohnya sudah begitu banyak. Masih ingat dengan Mario Dandy? Ia adalah remaja berusia 19 tahun yang berstatus sebagai anak seorang pejabat Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Republik Indonesia RI. Kelakuannya bengis. Bersama kawannya, Mario menganiaya David Ozora (17 tahun) hingga mengalami luka serius pada pertengahan Januari 2023.
Publik kemudian mengecamnya. Tapi Mario menyimpan kepercayaan diri yang begitu besar kalau ayahnya akan bisa menyelamatkan dirinya dari ancaman hukuman. Modal kepercayaan Mario itu bersumber pada kekayaan yang dimiliki oleh kedua orang tuanya. Sayangnya, Mario keliru. Ulahnya justru berbuntut panjang. Sang ayah, Rafael Alun Trisambodo, justru dicopot dari jabatannya dan ditemukan praktik korupsi lewat penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri. Lalu bisnis sang ibu, Ernie Meike Torondek, juga dibikin bangkrut karena tergerusnya citra dan reputasi akibat perilaku anak.
Contoh lainnya datang dari gerai makanan cepat saji McDonald’s yang berusaha memperbaiki citra perusahaan. Pada 2018, menu Happy Meal dituding sebagai penyebab obesitas pada anak-anak di Amerika Serikat. Manajemen perusahaan segera merepons. Tahap awal, mereka menghilangkan menu cheeseburgers dan susu cokelat dari daftar menu Happy Meal. Keputusan itu dilakukan dalam rangka mengurangi kandungan kalori, garam, lemak jenuh dan gula yang dikonsumsi anak-anak di gerai mereka.
Keputusan lainnya, pihak manajemen menghadirkan lebih banyak menu salad dan pilihan makanan sehat lain plus memberikan harga yang lebih terjangkau. Lalu untuk memperkuat perubahan tadi, McDonald’s menghadirkan slogan "I lovin it," yang diiringi lagu Justin Timberlake. Semua usaha itu dilakukan sebagai respons terhadap gangguan citra dan reputasi.
Peran Spin Doctors
Dua contoh di atas sesungguhnya memperlihatkan kepada kita bagaimana seharusnya bersikap ketika menghadapi gangguan terhadap citra dan reputasi. Ketika citra dan reputasi diganggu, maka ada satu peran krusial yang tak bisa diabaikan dalam bingkai komunikasi, khususnya Public Relations (PR). Peran itu dikenal dengan sebutan spin doctor.
Secara sederhana, spin doctor ini diartikan pada kemampuan individu atau kelompok yang memiliki power untuk memengaruhi opini publik lewat media dengan tujuan akhirnya adalah mengubah persepsi negatif menjadi positif. Di Indonesia, kerja spin doctor ini identik digunakan dalam kerja-kerja komunikasi di dunia politik. Tapi dalam konteks yang lebih luas, cara kerja spin doctor ini sebenarnya sangat aplikatif untuk diimplementasikan di dalam industri PR ketika menghadapi gangguan citra dan reputasi. Sayangnya, harus diakui, persepsi sebagian orang masih menilai kerja dari spin doctor itu dengan konotasi negatif.
Mengapa negatif? Mereka menuding karena individu atau kelompok yang dilabeli sebagai spin doctor itu kerap menghalalkan berbagai macam cara untuk mencapai tujuannya. Cara-cara itu dimulai dari membuat dan menyebarkan hoaks hingga memanipulasi fakta negatif dengan “argumentasi cocokologi” sehingga mengubahnya menjadi terlihat positif. Semua cara itu bermuara pada pembentukan opini publik dalam berbagai macam platform media komunikasi.
Terlepas dari polemik yang ada, sesungguhnya untuk menjadi seorang spin doctor itu harus memiliki kemampuan khusus. Kemampuan itu adalah kekuatan mempengaruhi media. Kekuatan berjejaring kepada media itu harus dilengkapi juga dengan kemampuan memetakan dan memonitor pergerakan sebuah isu yang telah melahirkan persoalan sehingga membuat citra menjadi negatif.
Pemetaan dan monitoring isu tersebut, selanjutnya dibungkus dalam aktivitas bernama framming. Tujuan framming adalah menyampaikan pesan dengan maksud dan tujuan untuk mengubah citra negatif menjadi netral maupun positif. Syukur-syukur, framming yang dilahirkan itu bisa juga digunakan untuk mengalihkan isu negatif dengan isu yang berbeda.
Berkaca dari kemampuan tersebut maka spin doctor ini bisa diibaratkan seperti halnya seorang ronin alias seorang samurai yang tak bertuan. Ketika kemampuan spin doctor itu berada di dalam genggaman tangan yang tepat dan benar, rasanya terlalu naif untuk menuding spin doctor itu sebagai anak haram dari industri komunikasi, khususnya industri PR. Sebaliknya, ketika kemampuan spin doctor itu digunakan pada kebutuhan pragmatis maka di sanalah konotasi negatif spin doctor itu menjadi bisa dibenarkan.
Pada akhirnya, semua itu sangat tergantung pada kebutuhan dan siapa yang menggunakan kemampuan spin doctor. Satu hal yang pasti, kekuatan spin doctor itu adalah suatu keniscayaan dalam merespons citra dan reputasi yang sedang terganggu.
Jadi bagaimana dengan Anda memandang spin doctor ini? Haruskah spin doctor menjadi anak haram bagi industri PR? Atau….