Apakah kamu salah satu pengguna tumbler Corkcicle atau Owala? Jika iya, apa yang membuatmu membelinya? Apakah karena kamu ingin mengurangi sampah plastik? Membutuhkan tumbler berkualitas tinggi? Atau karena melihat banyak orang menggunakannya? Apabila alasannya yang terakhir, artinya kamu mengalami fenomena social proof.
Apa itu Social Proof?
Pertama-tama, mari kita pahami dulu fenomenanya. Dalam buku “Influence: The Psychology of Persuasion”, Robert Cialdini menjelaskan bahwa social proof adalah salah satu fenomena psikologis—mencakup pikiran, perasaan, dan kemauan—yang dapat memengaruhi keputusan dan perilaku manusia.
Social proof terjadi ketika individu mengikuti tindakan atau pendapat orang lain untuk menentukan apa yang benar atau layak dilakukan, terutama ketika mereka tidak yakin dengan pilihan mereka. Hal ini terjadi karena mereka percaya bahwa ketika banyak orang membuat pilihan serupa, tindakan tersebut tepat atau diterima di lingkungan masyarakat tertentu.
Misalnya, jika seseorang melihat teman-teman mereka membeli suatu produk, mereka cenderung menganggap produk tersebut sebagai pilihan yang baik. Hal ini membuat mereka lebih mungkin untuk ikut membelinya.
Dengan demikian, social proof berperan sebagai panduan dalam pengambilan keputusan dengan kemampuannya memberikan kepercayaan diri kepada individu tentang pilihan yang mereka buat. Fenomena ini mendorong seseorang untuk merasa lebih yakin saat memilih, terutama ketika mereka melihat dukungan dan preferensi dari orang lain.
Corkcicle Team and Owala Team
Fenomena social proof sangat influential dan banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang, mulai dari politik hingga marketing. Dalam dunia marketing, social proof dimanfaatkan melalui testimoni customer atau jumlah followers di social media. Di era digital saat ini, pengaruh social proof semakin kuat karena kita terus-menerus terpapar opini dan perilaku orang lain melalui platform social media.
Hal tersebut menjelaskan mengapa social proof sering kali berperan besar dalam budaya populer, di mana tren dan perilaku yang sedang viral diikuti secara luas oleh masyarakat. Contohnya, tren penggunaan tumbler hits seperti Corkcicle dan Owala mulai ramai diperbincangkan di kalangan warga Jakarta. Tumbler ini kemudian dikenal sebagai tumbler karyawan Sudirman Central Business District (SCBD).
Harganya yang tinggi, yakni di atas Rp500.000, menawarkan gengsi tersendiri, sehingga banyak orang menunjukkan tumbler mereka di media sosial. Bahkan, tak sedikit influencer yang membuat konten review untuk beberapa brand tumbler ini.
Konten Tumblr Akun TikTok Monamadea dan Laissti
Social proof menjadi fenomena yang menjustifikasikan mengapa semakin banyak orang di Indonesia yang menggunakan tumbler hits ini. Ketika customer melihat banyak orang membeli atau menggunakan suatu produk, mereka merasa lebih yakin untuk mengikuti jejak tersebut. Social proof memberikan validasi dalam proses pengambilan keputusan, dan pada akhirnya dapat meningkatkan konversi serta loyalitas customer.
From Lalisa to Labubu Fever
Bagaimana social proof dapat dimanfaatkan untuk membangun citra positif dan mendorong orang membeli suatu produk? Mari kita bahas boneka Labubu yang belakangan ini mencuri perhatian publik.
Labubu sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun lalu, tetapi baru-baru ini menjadi viral setelah Lalisa Manoban atau dikenal sebagai Lisa, anggota girl grup K-pop Blackpink, mengunggah foto dirinya bersama boneka Labubu di Instagram pada April 2024. Postingan Lisa tersebut berhasil meningkatkan popularitas karakter Labubu secara signifikan di kalangan penggemar dan masyarakat luas.
Ilustrasi foto Lisa posting Labubu oleh JawaPos.com
Dalam waktu singkat, Labubu menjadi item yang banyak diburu di berbagai negara Asia, termasuk Thailand, Indonesia, Vietnam, dan Malaysia. Popularitasnya yang semakin besar bahkan membuat pemerintah Thailand, tanah kelahiran Lisa, mengeluarkan imbauan agar masyarakat waspada terhadap penipuan Labubu palsu.
Labubu sendiri adalah boneka yang unik, digambarkan sebagai peri yang berpenampilan menyerupai monster, dengan bulu berwarna-warni, telinga panjang, dan gigi yang runcing. Diciptakan oleh seniman asal Hong Kong Kasing Lung dan diproduksi oleh Pop Mart, karakter ini menjadi salah satu yang paling diminati di pasaran.
Selain peran Lisa, keberhasilan Labubu tak lepas dari strategi Pop Mart yang menerapkan konsep blind box, di mana customer tidak mengetahui isi mainan yang mereka beli. Konsep yang terinspirasi dari mesin Gachapon asal Jepang ini mendorong para kolektor untuk membeli lebih banyak demi mendapatkan karakter yang diinginkan.
Selain Labubu, Pop Mart juga memiliki karakter lain yang sukses, seperti Molly, yang meningkatkan penjualan dari US$22 juta pada 2017 menjadi US$73 juta pada 2018. Kapitalisasi pasar Pop Mart mencapai Rp102 triliun (US$6,31 miliar), dan setelah melantai di bursa saham Hong Kong pada Desember 2020, mereka berhasil mengumpulkan US$674 juta (sekitar Rp9,8 triliun) melalui IPO.
Demam Labubu tidak berhenti di media sosial karena banyak wisatawan yang membelinya sebagai oleh-oleh. Pop Mart telah membuka gerai di berbagai negara seperti Singapura, Thailand, Korea, Jepang, dan kini hadir di Indonesia, tepatnya di Gandaria City Mall, Jakarta Selatan. Menururt Lifestyle Asia, harga satu boneka Labubu di Thailand sekitar 500 baht atau Rp231.000. Ada juga yang dihargai 3.000 baht (Rp14 juta) hingga 10.000 baht (Rp46 juta).
Kenapa Social Proof Efektif?
Menurut Cialdini, social proof dapat menjadi tool persuasi yang efektif karena dapat mempercepat proses pengambilan keputusan. Alih-alih melakukan riset mendalam atau mempertimbangkan berbagai alternatif, orang sering kali mengikuti apa yang dianggap populer. Dalam konteks Labubu, banyak orang membeli boneka ini karena popularitasnya.
Kesuksesan Labubu mencerminkan bagaimana social proof dapat secara signifikan meningkatkan brand visibility Pop Mart. Terlebih, menurut survei Global Market Stats (2024), pasar mainan blind box diperkirakan tumbuh mencapai US$9,84 miliar pada tahun 2029, meningkat dari US$6,80 miliar pada tahun 2022. Dalam konteks ini, kehadiran Lisa Blackpink sebagai salah satu ikon K-pop dapat menciptakan buzz dan memengaruhi daya beli masyarakat.
Terkait dengan fenomena social proof, ada communication theory yang dikembangkan oleh Richard Petty dan John Cacioppo, yakni Elaboration Likelihood Model (ELM). Teori ini menjabarkan bagaimana orang memproses pesan persuasif.
ELM mengidentifikasi dua rute persuasi. Pertama, central route ketika orang secara kritis memproses pesan untuk membuat keputusan (high-involvement processing). Kedua, peripheral route di mana orang tidak memikirkan pesan secara kognitif dan bergantung pada hal superfisial seperti social proof untuk mengambil keputusan yang cepat.
Ilustrasi Elaboration Likelihood Model (ELM) oleh dictio
Social proof bekerja ketika orang memproses informasi menggunakan peripheral route. Bagi mereka, endorsement, testimoni, dan social metrics memberikan impact yang besar dalam mengefisiensikan proses pembuatan keputusan.
Di sisi lain, penting untuk diingat bahwa social proof tidak cukup untuk memengaruhi keputusan orang yang memproses informasi melalui central route. Oleh karena itu, sebagai praktisi public relations, kita perlu memberikan informasi yang komprehensif dan detail untuk membangun argumen yang kuat.
Sebelum lanjut, kalian bisa mampir ke blog Vania untuk pemahaman lebih mendalam tentang ELM, ya!
Social Proof dalam Public Relations
Social proof adalah tool yang dapat digunakan praktisi public relations untuk meningkatkan brand visibility dan memengaruhi perilaku masyarakat. Dengan penerapan yang strategis, para praktisi public relations dapat menyusun campaign yang menarik dan relevan—yang tidak hanya mampu membangun engagement dengan audiens, tetapi juga berdampak positif terhadap persepsi brand di mata publik.
Sebagai praktisi public relations, penting bagi kita untuk memahami dinamika fenomena ini. Kita perlu menyadari bahwa social proof mencerminkan naluri manusia untuk mencari validasi sosial dalam keputusan yang mereka ambil.
Mendalami social proof memungkinkan kita memanfaatkan fenomena ini secara optimal dalam bisnis. Dengan mengadopsi social proof, kita dapat merancang strategi bisnis dan komunikasi yang lebih efektif dan responsif terhadap kebutuhan customer, sehingga akan meningkatkan kepercayaan publik.
Praktisi public relations dapat memperkuat brand image dengan mengangkat cerita dari testimoni yang positif dan impactful, serta memanfaatkan kekuatan social media. Langkah-langkah ini dapat membantu kita membangun loyalitas customer yang lebih efisien.
Selain contoh-contoh di atas, fenomena social proof apa yang pernah kamu lihat atau alami? Share, yuk!
Referensi:
Maulana, N. I. (2022). Budaya dan Perilaku yang Muncul Setelah Viralnya Tren Corkcicle. Kumparan. https://kumparan.com/maul-lana-1665652338439345777/budaya-dan-perilaku-yang-muncul-setelah-viralnya-tren-corkcicle-1zX1rwFKVoO
Katadata. (2024). Strategi Pop Mart Jual Mainan dari Kotak Misteri [Video]. TikTok. https://www.tiktok.com/@katadatacoid/video/7390951952806432006?lang=en
Chella, D. A. (2024). Apa Itu Boneka Labubu dan Mengapa Bisa Viral? Simak Penjelasan Berikut. Kompas. Editor: Mahardini. N. A. https://www.kompas.com/tren/read/2024/09/15/093000065/apa-itu-boneka-labubu-dan-mengapa-bisa-viral-simak-penjelasan-berikut?page=all
Gunawan, W. M. (2017). Apa yang dimaksud dengan Teori Kemungkinan Elaborasi (Elaboration Likelihood Model)?. dictio. https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-teori-kemungkinan-elaborasi-elaboration-likelihood-model/4306