• Home
  • Current: Stories

Tone Deaf: Kesalahan Fatal Brand di Era Digital yang Dapat Dihindari

19 Oct 2024 | STORIES | 0 Comment
Title News

Sumber: Pexels.com

 

Perkembangan era digital yang semakin pesat, kian memudahkan kita untuk terhubung, mendapatkan informasi, dan berbagi pendapat dalam hitungan detik. Fenomena ini tidak hanya mengubah cara kita berinteraksi, tetapi juga bagaimana brand menyusun strategi bisnis dengan memanfaatkan situasi dan tren yang berkembang. Namun, strategi ini harus dilaksanakan dengan hati-hati agar tidak terjebak dalam kesalahan fatal, yakni menjadi tone deaf.

 

Apa itu Tone Deaf?

Dalam konteks komunikasi bisnis, tone deaf mengacu pada ketidakmampuan sebuah brand untuk menyesuaikan pesan atau tindakan mereka dengan suasana sosial atau budaya yang berlaku. ini bisa terjadi ketika sebuah perusahaan meluncurkan kampanye pemasaran, pernyataan, atau produk yang tidak selaras dengan sentimen publik, terutama di tengah krisis atau peristiwa penting.

 

Sebagai contoh, ketika Holywings yang memberikan penawaran menarik bagi orang yang menggunakan nama “Muhammad” atau “Maria” beberapa waktu yang lalu. Kampanye ini sangat sensitif mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Menggunakan nama tersebut untuk menawarkan minuman beralkohol gratis bukan hanya menunjukkan ketidakpekaan terhadap nilai agama, namun juga memicu reaksi keras dari masyarakat. Ribuan komentar negatif membanjiri media sosial Holywings dan diikuti oleh tekanan kuat dari berbagai organisasi masyarakat, serta berujung pada pemanggilan dari pihak berwenang. 

 

Kesalahan seperti ini tidak hanya merusak reputasi brand, tetapi juga bisa mengancam keberlangsungan bisnis. Untuk itu, penting untuk memperhatikan beberapa ciri-ciri tone deaf  sebelum kita menyusun strategi komunikasi.

1. Tidak Peka Terhadap Konteks Sosial dan Budaya

Sumber: Pexels.com

 

Salah satu tanda paling jelas dari brand yang tone deaf adalah ketidakmampuannya memahami konteks sosial, politik, atau budaya di sekitarnya. Meluncurkan kampanye yang kontroversial tanpa mempertimbangkan bagaimana kampanyenya akan diterima oleh audiens merupakan kesalahan yang fatal dan dapat berujung pada penolakan keras dari masyarakat. Brand yang menggunakan tema-tema sosial yang sensitif, seperti rasisme atau ketidaksetaraan, sebagai alat pemasaran tanpa pertimbangan yang matang dan pemahaman mendalam, dapat memicu kemarahan publik.

 

2. Pesan yang Tidak Sesuai dengan Konteks Waktu atau Situasi

 

Sumber: Pexels.com

 

Brand yang tone deaf sering kali gagal membaca situasi yang sedang dialami masyarakat. Contohnya, menampilkan iklan yang menonjolkan nilai kemewahan saat masyarakat sedang mengalami krisis ekonomi atau menjalankan kampanye yang tidak kontekstual di tengah tragedi besar. Ketidaksesuaian ini da.pat membuat brand tampak tidak empati sehingga memicu reaksi negatif dari masyarakat.

 

3. Menggunakan Stereotip atau Klise

 

Sumber: independent.co.uk

 

Penggunaan stereotip atau klise dalam pemasaran adalah ciri lain dari brand yang tone deaf. Alih-alih menampilkan representasi yang inklusif dan adil, mereka menggunakan gambaran yang memperkuat bias atau asumsi lama. Hal ini tidak hanya bisa membuat audiens merasa tersinggung, tetapi juga menunjukkan kurangnya pemahaman tentang keanekaragaman dan perubahan sosial.

 

Pernah dengar kasus H&M yang menggemparkan dunia fashion? Brand terkenal ini sempat harus menghadapi serangan dan kritik tajam dari netizen akibat gambar di atas. Mereka merilis Sweatshirt dengan model anak laki-laki berkulit hitam yang menggunakan slogan “Coolest monkey in the jungle”. Meski maksud sebenarnya untuk mempromosikan pakaian keren, kampanye ini justru menimbulkan kontroversi besar setelah diposting di media sosial. H&M langsung dihujani komentar negatif karena dinilai rasis dan kekisruhan ini juga berdampak pada operasional bisnis perusahaan. Mulai dari penarikan produk tersebut dari seluruh cabangnya di dunia, hingga pemutusan kerja sama dengan musisi terkenal The Weeknd. Ia  menyampaikan secara terbuka bahwa dirinya tersinggung dengan gambar tersebut dan tidak ingin lagi bekerja sama dengan H&M. Iklan H&M ini dapat menjadi pengingat yang tegas bagi kita tentang pentingnya sensitivitas budaya dan inklusivitas dalam menyusun strategi bisnis atau komunikasi.


















 

4. Gagal Membaca Tren dan Perubahan Sosial

Sumber: Pexels.com

 

Dalam dunia yang selalu berubah, brand yang tone deaf adalah mereka yang tidak mampu beradaptasi dengan tren baru atau perubahan sosial. Ketika masyarakat semakin peduli dengan isu-isu seperti keberlanjutan, hak-hak pekerja, atau kesetaraan gender, brand yang masih mempromosikan nilai-nilai kuno atau tidak relevan berisiko kehilangan relevansi di mata konsumen. Salah satu contoh yang patut diperhatikan adalah kampanye Zara dalam meluncurkan ad campaign-nya yang dianggap tidak sensitif terhadap konflik Israel-Palestina.  Alih-alih fokus pada desain pakaian, kampanye tersebut justru dianggap mengabaikan tragedi kemanusiaan yang sedang terjadi, dan memancing amarah netizen di seluruh dunia. 

 

Untuk menghindari kesalahan tone deaf, penting bagi brand untuk lebih banyak mendengarkan audiens mereka dan memantau perkembangan sosial serta politik sebelum merencanakan strategi komunikasi yang ingin dilakukan. Di era yang serba terhubung ini, setiap langkah brand akan selalu dipantau, dan menjadi penting bagi kita untuk selalu mendengar, belajar, dan beradaptasi. Jangan sampai brand kita terjebak dalam kesalahan tone deaf yang bisa merusak reputasi dalam sekejap. Jadilah brand yang tidak hanya menyampaikan, tetapi juga mendengar serta memahami.

Written by: Samuel Wangsa
Comments
Leave your comment