Beberapa bulan yang lalu, internet sempat ramai dengan beredarnya foto palsu Taylor Swift mendukung Donald Trump yang dibuat menggunakan AI. Meskipun Taylor Swift dengan cepat memberikan klarifikasi dengan peringatan keras, hal ini semakin menunjukan betapa pesatnya perkembangan AI yang semakin memudahkan pembuatan konten palsu.
Teknologi yang dulu hanya bisa kita temui dalam film fiksi ilmiah, sekarang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Dari fitur sederhana hingga konten canggih seperti video deep fake, teknologi AI kini digunakan di berbagai platform, merambah ke berbagai aspek kehidupan dan menyajikan tantangan baru dalam dunia informasi. Di tengah tantangan ini kemampuan literasi media menjadi semakin genting untuk dimiliki, tidak lagi hanya untuk kita sebagai praktisi komunikasi, namun juga untuk semua orang.
Perkembangan pesat AI dalam pembuatan konten membuat kita semakin sulit membedakan mana yang dihasilkan oleh manusia dan mana yang dibuat oleh mesin. Saat ini, AI sudah mampu menghasilkan teks, gambar, dan bahkan video yang sangat mirip dengan karya asli. Kesulitan dalam membedakan konten buatan AI mendorong skeptisisme terhadap semua jenis informasi, tidak hanya yang dihasilkan AI, tetapi juga informasi yang valid. Hal ini bisa mengakibatkan krisis kepercayaan secara keseluruhan, dan semakin memburamkan benar dan salah.
Selain itu, ada juga isu penyalahgunaan data pribadi yang telah menjadi perdebatan sejak lama. Dengan teknologi yang terus berkembang, data pribadi, seperti karya, suara, bahkan wajah kita berpotensi disalahgunakan menggunakan AI untuk pembuatan konten-konten tertentu. Seperti contoh isu yang sedang ramai belakangan ini, Korea Selatan sedang dilanda epidemi kejahatan dimana teknologi deep fake digunakan untuk membuat konten pornografi dari foto-foto yang diambil dari media sosial.
Oleh karena itu, di tengah kemajuan teknologi yang cepat ini, literasi media menjadi semakin mendesak. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan literasi media? Alan Rubin (1998) mengartikan literasi media sebagai kemampuan untuk memahami sumber dan teknologi komunikasi, kode yang digunakan, pesan yang diproduksi, dan pemilihan, penafsiran, dan dampak dari pesan-pesan tersebut. Jadi, literasi media bukan hanya tentang memahami informasi, namun juga tentang bagaimana kita berinteraksi dengan informasi tersebut dan lebih bertanggung jawab dalam konsumsi media.
Rennee Hobbs (2021) menjabarkan literasi media literasi sebagai sebuah proses pembelajaran seumur hidup yang meliputi lima elemen kunci yaitu: Access, adalah memahami cara mengakses dan mencari informasi; Analyze, dalam konteks bisa memahami dan menganalisis konten secara kritis; Create, meliputi pemahaman dan kesadaran dalam membuat konten, termasuk mempertimbangkan konsekuensi dan risikonya; Reflect, merefleksikan dampak emosional, sosial, dan budaya dari media yang kita konsumsi, buat, atau bagikan; dan Act, mengenai tanggung jawab dalam berbagi dan berpartisipasi dalam literasi media secara bijak di komunitas kita.
Sumber: Media Literacy in Action: Questioning the Media, oleh Renee Hobbs (2021), hal. 7
Idealnya, kelima elemen ini bisa diterapkan dalam rutinitas kita sehari-hari. Berikut beberapa kebiasaan sederhana yang bisa kamu mulai lakukan untuk meningkatkan literasi media:
-
Biasakan membaca terms & conditions pada platform atau aplikasi yang kamu gunakan. Sekilas pun sudah cukup, tetapi semakin kita sadar soal data dan hak kita, semakin baik.
-
Cek kredibilitas sumber konten. Saat melihat informasi baru, biasakan untuk selalu lihat dulu siapa yang memposting informasi tersebut. Dari situ, kita sudah bisa dapat gambaran apakah informasi tersebut bisa dipercaya atau tidak.
-
Pikirkan dua kali sebelum membagikan informasi pribadi. Hal sederhana seperti selfie atau nama yang terlihat sepele bisa jadi risiko kalau jatuh di tangan yang salah. Pastikan kamu paham risiko saat membagikannya, dan pilih platform yang tepat.
-
Diskusikan konten yang kamu konsumsi dengan orang lain. Ngobrol dengan teman atau keluarga tentang informasi yang kita lihat bisa memberi perspektif baru, sehingga kita bisa lebih kritis.
Mulai dari kebiasaan-kebiasaan ini, kamu bisa perlahan-lahan membangun literasi media yang lebih baik dan jadi pengguna media yang lebih bijaksana.
Kemajuan teknologi yang sangat pesat memang harus diimbangi dengan kesiapan penggunanya. Kewajiban kita tidak hanya untuk mengedukasi diri sendiri mengenai literasi media, tetapi juga mengedukasi keluarga dan teman, terutama mereka yang lebih rentan terhadap misinformasi, seperti orang tua dan anak-anak. Mari jadikan literasi media sebagai kebiasaan bersama, sehingga kita semua dapat menjadi konsumen informasi yang lebih bijak dan cerdas, serta menciptakan lingkungan yang lebih aman dan sadar dalam menghadapi era AI ini!
Referensi:
Hobbs, R. (2021). Media Literacy in action questioning the media. Rowman & Littlefield Publishers.
Rubin, A. M. (1998). Media Literacy. Journal of Communication, 48(1), 3–4. https://doi.org/10.1111/j.1460-2466.1998.tb02732.x