“Gimana ya kalau klien tidak menyukai presentasiku? Pasti kalah nih dengan ahensi sebelah! Presentasiku berantakan karena aku nggak PD dan terlalu gugup!”
Sebagai seorang Public Relations (PR) profesional, pastinya hal tersebut seringkali terlintas di pikiran kita. Di saat harus tampil di depan klien atau calon klien, diri kita terkadang merasa gugup dan tidak percaya diri dengan apa yang kita bawa di hadapan mereka. Padahal, sebagai seorang PR profesional, tugas kita adalah memberikan konseling dan mengarahkan klien ke arah yang mereka tuju dalam hal media relations, menyusun strategi PR, dan mengeksekusi plan tersebut.
Sebagai seorang PR, saya pun tak luput dari pengalaman kehilangan percaya diri dan gugup di hadapan klien. Maka dari itu, saya yakin bahwa kunci untuk menjadi seorang PR profesional yang meyakinkan dan membuat klien percaya pada diri kita adalah rasa percaya diri! Namun, rasa percaya diri itu tidak akan muncul jika diri kita masih belum “mempercayai” diri sendiri dan kemampuan yang kita punya. Untuk mencapai rasa percaya diri sendiri, dibutuhkan beberapa langkah, salah satu yang pertama adalah self-acceptance! Dengan memiliki self-acceptance, kita dapat mengerti lebih baik lagi apa yang menjadi kekuatan dan kelemahan diri kita, sehingga kita dapat lebih menguasai hal yang menjadi kekuatan dan memperbaiki yang menjadi kelemahan. Namun, apa sih yang sebenarnya disebut dengan self-acceptance?
Salah kaprah atas definisi “penerimaan diri” kerap kali ditemukan. Beberapa orang menganggap penerimaan diri sebagai menyerah atas keadaan. Namun, saya kurang setuju dengan pernyataan tersebut. Sebagai seseorang yang tidak memiliki latar belakang PR saat kuliah, tentu saya merasa kesulitan berhadapan dengan berbagai tantangan di dunia kerja. Setiap klien yang dihadapi berasal dari industri berbeda, ada yang sangat saya kuasai, ada yang saya benar-benar “buta”! Di saat itu lah saya merasa frustasi dan menyalahkan diri sendiri karena saya tidak bisa menerima bahwa faktanya saya memang belum mengerti atau mampu membantu klien tersebut. Hal itu lah yang membuat saya sadar bahwa penerimaan diri artinya menerima keadaan secara penuh, bahwasanya ada hal yang dapat kita ubah ke arah lebih baik, dan ada hal-hal yang perlu kita terima dengan ikhlas dengan dasar pemahaman bahwa hal tersebut di luar kontrol yang saya punya.
Salah satu buku yang saya jadikan “acuan” terkait dengan menerima diri sendiri adalah Love for imperfect things yang ditulis oleh seorang biksu yang berasal dari Korea Selatan bernama Haemin Sunim. Sebelumnya, ia telah meluncurkan buku Things you can see only when you slow down, dimana ia berbicara tentang bagaimana menikmati proses hidup sehari-hari dan mencapai ketenangan serta mindfulness dalam diri. Sedangkan, pada buku ini, ia berfokus pada bagaimana mencintai dan menerima ketidaksempurnaan, terutama diri sendiri. Ia berpendapat bahwa jika kita mulai memberikan kasih kepada diri sendiri, dengan sangat mungkin kita dapat memberikan yang lebih lagi ke orang lain.
Love for the imperfect things terbagi menjadi delapan bagian yang menurut Haemin Sunim adalah hal yang harus diperhatikan serta langkah-langkah untuk mencapai penerimaan diri; Self-care, Family, Empathy, Relationship, Courage, Healing, Enlightenment, dan Acceptance. Pada empat bab awal, Haemin mengajak pembaca untuk menyelami diri sendiri dan mengerti arti “menerima” dari berbagai sisi. Dimulai dari belajar mengerti kekurangan dan kelebihan diri sendiri, keluarga, menumbuhkan empati untuk mengerti orang lain, dan menjaga hubungan dengan orang-orang terkasih. Salah satu tulisan yang menjadi favorit saya dari empat bab awal tersebut adalah:
“It’s okay that you have flaws. How could our lives be as clean and white as a blank sheet of paper? Life naturally takes a toll on our bodies, our minds, and our relationships. Rather than choosing a life in which you do nothing for fear of making a mistake, choose a life that improves through failure and pain. And shout out loud to your struggling self. ‘I love you so much’” (Love for the imperfect things, hal. 14)
Di saat kita berhadapan dengan hal-hal yang bukan menjadi kuasa kita, seperti klien dari industri yang baru kita tangani, atau kasus-kasus yang menurut kita sulit, tidak ada salahnya bertanya ke teman, senior, atau bahkan bos agar lebih mengerti. Jika kita menghadapi sesuatu tanpa percaya diri yang cukup, hasilnya akan sangat tidak maksimal, atau bahkan mengecewakan sama sekali. Belajar dan bertanya karena kita tidak mengetahui sesuatu hal juga merupakan bentuk self-acceptance, lho!
Empat bagian buku terakhir, Haemin Sunim membahas tentang empat step-by-step hingga akhirnya menerima diri sendiri. Dimulai dari berani mengakui kelemahan dan kesalahan diri, memaafkan diri sendiri dan orang lain, hingga akhirnya mencapai titik mengerti dan menerima.
“The moment we allow ourselves to be, we finally feel at peace with ourselves. Remember that we can only be ourselves. When we accept ourselves, others begin to accept us, too.” (Love for the imperfect things, hal. 236)
Pada akhirnya, untuk dapat sepenuhnya menerima diri sendiri, menurut Haemin Sunim, penting untuk menunjukkan rasa kasih sayang kepada diri sendiri, seperti kita menyayangi sahabat, keluarga, dan kerabat lain. Dengan mengerti apa value yang kita miliki, kelebihan, serta kekurangan, kita jadi lebih bisa menghadapi klien dengan rasa percaya diri! Salah satu langkah awalnya untuk menjadi lebih percaya diri yaitu dengan menerima diri sendiri. Semoga buku ini juga bisa membantumu dalam langkah awal untuk mencapai rasa percaya diri ya