Ilustrasi foto oleh Council.ie
Sebagaimana saya membahas tentang ’quality vs quantity’ pada artikel sebelumnya, artikel kali ini juga berangkat dari sebuah diskusi terkait apa yang seharusnya menjadi prioritas antara ‘feature dan benefit’. Digunakan sebagai pendekatan saat berkomunikasi, dua hal ini relevan bagi kita yang merupakan makhluk sosial. Sadar atau tidak, bahkan saat membujuk teman memilih menu makan siang, kita memakai pendekatan feature dan benefit.
“Kita makan di Pizza Hut, yuk! Selagi sedang happy hour, jadi kita bisa dapat minuman gratis setiap pembelian satu makanan.”
Tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari, pembahasan ini juga seringkali muncul dalam dunia kerja. Misalnya ketika beberapa konsultan di Praxis pada suatu pagi sedang berdiskusi membahas Public Relations (PR) plan untuk klien kami.
“Geng, untuk peluncuran produk smartphone kali ini, gimana kalau kita fokus mengomunikasikan feature-nya? Seperti yang kita tahu, spesifikasi dalam smartphone ini perlu ditonjolkan.”
“Memang feature yang dihadirkan kali ini jauh lebih canggih dibandingkan seri sebelumnya, tapi sepertinya benefit harus menjadi prioritas kita, deh. Dengan begitu, pembaca dapat memahami apa yang mereka dapatkan dari membeli smartphone ini.”
Mendengarkan diskusi tersebut membuat saya berpikir, kira-kira mana yang lebih tepat ya? Mengingat keduanya sama-sama beralasan. Yuk, baca sampai habis!
Mempreteli feature dan benefit
Sebelum memilih mana yang perlu menjadi prioritas, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu apa yang membedakan feature dan benefit. Berdasarkan artinya, feature mengacu pada pernyataan yang menggambarkan kemampuan atau kualitas produk sedangkan benefit menekankan pada hasil yang diperoleh pengguna setelah menggunakan suatu produk. Selain itu, feature menyampaikan apa fakta dan detail spesifikasi dari suatu produk. Di sisi lain, benefit memberikan alasan mengapa suatu produk dapat bermanfaat bagi kehidupan pengguna yang dekat kaitannya dengan hubungan emosional. Dengan kata lain, feature memusatkan perhatian pada suatu produk, sementara benefit lebih fokus pada fungsi produk dalam kehidupan pengguna.
Kata orang “pictures speak louder than words,” jadi lihatlah beberapa ilustrasi di bawah ini untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam:
Ilustrasi foto oleh Medium.com
Ilustrasi foto oleh Streamlined.gr
Melihat melalui kacamata marketing
Berdasarkan pemaparan di atas, apakah para pembaca sudah menentukan pilihan mana yang lebih penting? Mungkin sebagian dari kita setuju jika melihatnya dari sudut pandang marketing, maka benefit menjadi fokus utama. Hal ini terlihat jelas dari fungsi marketing, yaitu sebuah proses manajemen yang bertanggung jawab untuk mengidentifikasi, mengantisipasi, dan memenuhi kebutuhan pengguna untuk mendapatkan profit (The Chartered Institute of Marketing, 2007). Menempatkan pengguna dan profit sebagai hal yang paling penting, memakai pendekatan feature sangatlah cocok untuk marketing.
Contoh brand yang sangat andal dalam mempraktikkannya adalah Apple. Salah satunya terlihat dari video promosi Apple Watch Series 7 yang menarasikan kepanikan tiga orang saat mereka dalam bahaya. Lalu, mereka berhasil diselamatkan setelah menghubungi 911 menggunakan Apple Watch. Pada deskripsi video, Apple kembali memainkan emosi penonton dengan hanya menuliskan satu kalimat, “Mereka hanyalah tiga dari banyak kisah luar biasa di mana orang bisa mendapatkan bantuan menggunakan Apple Watch.” Artinya, dibanding menerangkan aspek feature, Apple lagi-lagi menegaskan bahwa pesan yang ingin diingat oleh pengguna adalah benefit, and it works!
Ilustrasi foto oleh Apple
Memaparkan dari sisi PR
Jika benefit sangat sesuai dengan marketing, apakah hal tersebut berlaku juga untuk PR? Ketika membahas peran PR dalam mendukung tujuan marketing, benefit menjadi pendekatan yang tepat. Sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam membangun pemahaman yang sama antara organisasi dan publik (Chartered Institute of Public Relations, 1987), PR dapat memanfaatkan “kekuatan” benefit saat hendak menyampaikan pesan ke masyarakat. Hal ini dilakukan oleh TOMS, brand sepatu yang saat dirilis tidak memilih mengomunikasikan model atau bahan yang digunakan secara gamblang, melainkan fokus pada model bisnis Buy-One-Get-One® (BOGO)—donasi satu pasang sepatu untuk setiap pasang yang terjual. Model bisnis tersebut membuat pengguna memahami dengan jelas manfaat dari membeli sepatu TOMS. Meski kini sudah mengubah model bisnisnya, komunikasi yang baik membuat TOMS menjadi brand yang sangat diasosiasikan sebagai perusahaan yang menjalankan bisnisnya dengan sistem BOGO.
Ilustrasi foto oleh Ourgoodbrands.com
Mempertimbangkan pendekatan dari sisi yang berbeda
Meskipun benefit merupakan pendekatan yang dapat digunakan, bukan berarti feature menjadi tidak relevan sama sekali. Dalam konteks PR, kita tidak bisa melupakan fakta bahwa PR berhubungan dengan banyak pihak yang memiliki latar belakang dan tujuan yang berbeda. Saat praktisi PR mewakili brand yang menyediakan perlengkapan bayi, akan berbeda pendekatannya dengan brand yang memasarkan mobil. Dalam menyampaikan produk yang relatif terjangkau, akan lebih efektif ketika pendekatan yang digunakan adalah melalui benefit seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Akan tetapi, ada juga saat ketika PR membutuhkan pendekatan feature dalam melakukan peranannya.
Salah satu pihak yang memerlukan pendekatan feature adalah saat berhubungan dengan investor. Sebagai ilustrasi, mari kita bahas Kopi Kenangan, ritel minuman yang pada bulan Desember 2021 mendapatkan suntikan modal atau pendanaan Seri C tahap pertama sebesar US$ 96 juta dari Tybourne Capital Management, menjadikannya sebagai unicorn ke-10 di Indonesia. Ketika Kopi Kenangan menampilkan brand-nya agar dilirik oleh investor melalui kegiatan PR, informasi dalam ruang lingkup benefit tentunya tidak cukup. Informasi mendalam yang memaparkan terkait bagaimana cara Kopi Kenangan bekerja dan menghasilkan keuntungan menjadi penting bagi investor seperti Tybourne Capital Management. Tipe informasi yang teknis tersebut seyogyanya terdengar asing di telinga khalayak luas karena memang tidak diperuntukkan bagi semua orang. Dalam hal ini, informasi yang beredar di masyarakat—berkat usaha yang dihasilkan dari kegiatan PR—berperan penting dalam meningkatkan kredibilitas Kopi Kenangan sebagai perusahaan di mata investor.
Ilustrasi foto oleh Kopi Kenangan
Menentukan “juara” dengan saksama
Feature dan benefit memiliki pesona dan peranannya masing-masing. Benefit menghadirkan pendekatan yang lebih sederhana sehingga memudahkan masyarakat yang masih awam untuk mengerti apa solusi yang mereka dapatkan dari suatu produk atau what’s in it for them. Berbeda dengan benefit, feature memiliki keleluasaan untuk mendeskripsikan detail produk secara teknis yang dapat disokong menggunakan angka, di mana membuat fakta tentang produk tersebut menjadi solid dan terukur.
Secara umum, apabila suatu produk memiliki nilai investasi yang terhitung rendah, orang akan membelinya karena benefit yang ditawarkan, kemudian mereka membuktikan keunggulan produk tersebut dengan feature. Sebaliknya, jika nilai investasi suatu produk terbilang tinggi, prosesnya akan mundur satu tahap, di mana orang akan membeli produk ketika sudah memiliki “cukup bukti” yang dapat meyakinkan mereka untuk menentukan pilihannya. Di sinilah, PR berfungsi untuk menyebarkan informasi dan meningkatkan kredibilitas brand.
Perlu diingat bahwa memilih antara ‘feature vs benefit’ tidak dapat dikategorikan sebagai one size fits all. Ada berbagai hal yang menjadi pertimbangan, antara lain: kepentingan perusahaan, kesiapan masyarakat dalam menerima informasi, permasalahan dan kondisi masyarakat di waktu tertentu, dan masih banyak lagi.
Kuncinya adalah menelaah kondisi yang ada dengan cermat untuk mengambil keputusan yang bijaksana, sehingga dapat mengakselerasi pencapaian yang diinginkan.
Tak bosan-bosan, jika ada pertanyaan lain seperti ‘feature vs benefit’, silakan tulis di kolom komentar ya!